Penelitian terbaru menunjukkan prevalensi kecanduan internet pada remaja di Jakarta adalah sebesar 31,4 persen. Hasil temuan ini lebih tinggi dari kota-kota lain di Asia.
Hal tersebut disampaikan oleh dr Kristiana Siste SpKJ(K) berdasarkan hasil penelitian yang ia lakukan untuk memenuhi syarat promosi doktor Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, Selasa (19/11/2019).
"Oleh karena itu akses terhadap internet sangat mudah. Remaja yang memiliki masalah emosional sekitar 48,5 persen dan masalah perilaku 56,3 persen, sehingga mengakibatkan mereka menggunakan internet untuk modifikasi mood," kata Kristiana.
Untuk menghasilkan data tersebut, kata Kristiana, penelitian dilakukan dengan melibatkan populasi remaja pada SMP dan SMA di Jakarta. Untuk mengetahui hubungan kecanduan internet dengan kerja otak, maka dilakukan pemeriksaan pencitraan otak dengan menggunakan functional MRI.
"Penelitian ini merupakan penelitian pertama yang mengembangkan kuesioner skrining kecanduan internet pada remaja di Indonesia," ujar dia.
Saat ini, diakui Kristiana, memang belum ada alat ukur baku emas yang mendiagnosis kecanduan internet secara tepat dan dapat digunakan secara universal.
Oleh sebab itu penggunaan Kuesioner Diagnostik Adiksi Internet (KDAI) dianggap menjadi pilihan yang tepat untuk memberikan analisis persoalan kecanduan internet dan segala aspek terkait.
KDAI ini sendiri dikembangkan dari budaya remaja Indonesia, sehingga pernyataan yang ada pada KDAI dapat dimengerti oleh remaja dari berbagai latar belakang. KDAI terdiri dari 44 pernyataan.
Waktu pengisian kuesioner kurang dari 10 menit. KDAI memiliki sensitivitas yang tinggi sebagai alat skrining dan dapat digunakan oleh guru, orang tua, dan tenaga kesehatan profesional.
KDAI juga dapat menggambarkan konektivitas fungsional otak remaja sehingga tidak lagi diperlukan pemeriksaan Functional Magnetic Resonance Imaging (FMRI) untuk mengetahui perubahan konektivitas otak.
"Penelitian menunjukkan pada remaja dengan kecanduan internet akan memiliki konektivitas yang menurun pada area Lateral Parietal kanan dengan Lateral Prefrontal Cortex kiri," tuturnya.
Kedua area tersebut berguna untuk mengendalikan perilaku impulsif termasuk saat bermain internet.
"Pada remaja dengan kecanduan internet tidak dapat mengendalikan perilaku untuk terus bermain internet, dan tidak memiliki penilaian diri yang baik terhadap perilaku bermain internet," ujar dia.
Terdapat juga simpulan data bahwa 7 dari 10 remaja perempuan menggunakan internet dengan tujuan utama mengakses media sosial. Sementara itu, 9 dari 10 remaja laki-laki menggunakan internet dengan tujuan utama bermain online game.
Online game yang paling sering digunakan adalah MOBA, sementara media sosial yang paling sering digunakan adalah Instagram dan Line.
Dituturkan dr Kristiana, dari hasil analisis dengan berbagai faktor risiko dan proteksi menunjukkan beberapa faktor yang bermakna.
Yaitu tujuan penggunaan internet untuk permainan daring dan media sosial, durasi penggunaan internet lebih dari 20 jam per minggu, dan usia awitan penggunaan internet kurang dari 8 tahun.
Faktor risiko lain adalah masalah emosi, masalah perilaku dan masalah perilaku prososial. Perilaku prososial adalah kemampuan remaja untuk berempati terhadap orang lain.
Selain itu, hampir semua remaja memiliki atau diberikan kepemilikan atas gawai pintar. Mereka juga didukung dengan fasilitas internet yang tersedia di rumah, dan di berbagai tempat atau sarana publik.
Hal yang dapat dilakukan sebagai bentuk mencegah, dikatakan dr Kristiana sebagai faktor proteksi, dari kecanduan internet yaitu pola asuh non-exposure.
"Pola asuh non-exposure memberikan kebebasan pada remaja dengan batasan tanggung jawab yang jelas serta memberikan kehangatan pada remaja," kata dia.
Selain itu, peran pemerintah terkait seperti Kementerian Kesehatan, Kementerian Perdagangan,
Kementerian Komunikasi dan Informatika dan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, diharapkan dr Kristiana dapat membuat program pencegahan kecanduan interenet pada remaja:
1. Program pencegahan meliputi edukasi masyarakat mengenai penggunaan internet secara sehat dan dampak dari kecanduan internet. Melakukan edukasi terhadap orang tua untuk menggunakan fitur teknologi untuk membatasi penggunaaan internet, mengembangkan media online yang dapat diakses oleh masyarakat untuk mendapatkan informasi dan bantuan.
2. Deteksi dini kecanduan internet dan masalah emosi/perilaku pada remaja dapat dilakukan secara rutin dan dimasukkan dalam program di sekolah. Deteksi dini dapat dilakukan setiap 6 bulan sekali.
3. Peningkatan aktivitas fisik pada siswa sekolah penting untuk mencegah kecanduan internet.
4. Pelatihan untuk tenaga kesehatan profesional terutama mereka yang bekerja di layanan primer sangat penting sehingga mereka dapat melakukan deteksi dini remaja dengan kecanduan internet.
0 Comments